Sabtu, 24 Mei 2014




SAUDARAKU,

Menemukan artian sejati tentang penyifatan cerdas dan lemah membutuhkan landasan berpikir. Bagi kita, seorang muslim, landasan terbaik itu adalah Al-Qur’an dan Hadits. Kedua inilah yang utama. Bila dari keduanya tidak ditemukan jawaban yang jelas, maka kita dibenarkan menggunakan logika yang suci.

Kali ini, mari menelisiki makna dari satu hadits Nabi berikut ini.

Rasulullah bersabda, “Orang yang cerdas adalah orang yang selalu mengevaluasi dirinya dan bekerja untuk kehidupan setelah matinya. Orang yang lemah adalah orang yang membiarkan dirinya memperturutkan hawa nafsu dan mengangan-angankan banyak hal kepada Allah.” (HR At-altirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad)

Saudaraku,

Mari kita berbincang satu per satu. Pertama, tentang kecerdasan. Setelah membaca hadits ini dengan cermat, bisalah kita memahami sekarang bahwa kecerdasan itu ukurannya tak lagi soal angka hasil test IQ atau kemampuan seseorang membangun pundi-pundi kejayaan; materi, pangkat, dan apresiasi banyak orang.
Kecerdasan itu terlihat dari cara seseorang mempergunakan akalnya. Kita kenal banyak orang cerdas, namun akhirnya hidupnya terhabiskan di dalam buli hotel prodeo. Kenapa? Mereka menggunakan akal sebatas untuk memenangkan nafsu dan ego semata.

Maka, seharusnya yang kita lakukan adalah terus mengasahkan kemampuan intelijensia kita, kemudian mengarahkannya pada jalan yang lurus.

Sebagaimana kata Rasulullah, hendaknya dengan akal yang sehat kita bisa mengevaluasi diri secara berkesinambungan. Apa yang kurang? Apalagi yang belum kita lakukan? Dosa mana lagi yang belum bisa kita tinggalkan. Mudah-mudahan, dengan membiasakan pembersihan diri, kita bisa memasuki tahap kedua. Yaitu beramal untuk kehidupan setelah mati.

Saudaraku,

Ya, orang cerdas bukanlah semata mengetahui kebenaran namun tidak mengikutinya. Justru, ketika ada sinergi antara tahu dan mau sajalah kecerdasan menjadi utuh.

Apa itu amal-amal untuk kehidupan setelah kematian? Tentu, ajaran agama kita menuntunkan ibadah, tujuan dari kesemua ibadah itu adalah untuk kehidupan setelah mati. Kehidupan akhirat.

Kedua, siapakah yang lemah? Ternyata jawabannya bukanlah orang yang fisiknya tidak sempurna. Ternyata jawabannya bukanlah orang yang otaknya lemot bin lamban. Ternyata jawabannya bukanlah orang yang pendidikannya rendah.

Tapi apa? Tapi orang yang mengikuti hawa nafsuanya tanpa pertimbangan akal sehat. Tapi orang yang banyak berangan-angan pada Allah tanpa usaha untuk menggapainya. Hanya merindukan, tak pernah mengusahakan. Hanya merindukan, enggan tuk mendapatkan.

Saudaraku,

Begitu banyak dosa yang diperbuat dengan kebodohan. Tahu tapi tak rela meninggalkan. Tahu bahaya, tapi enggan beranjak. Bodoh. Mudah-mudahan, Allah mampukan kita dalam hidup ini.
Memohonkan kehidupan dunia dan akhirat memang tempatnya adalah pada Allah. Namun, bukan berarti dengan mengangankan saja semua itu akan didapati. Kita diharuskan untuk berikhtiar menggapainya. Allah memang Maha Pemurah, tapi Allah ingin dekat pada hamba-Nya yang mendekat pada-Nya.


Posted on 04.56 by Unknown

No comments

Jumat, 02 Mei 2014


bunga 268x300 Ngebut Peduli KALAU bisa diibaratkan seperti mobil atau motor, perilaku hidup sebagian orang selalu ingin ngebut. Selalu ingin cepat sampai. Tak peduli dengan urusan warna-warni pepohonan yang dilewati. Tak mau tahu dengan pengendara lain yang mungkin tersinggung. Bahkan, tak sadar dengan rambu-rambu jalan yang sempat terlanggar.
Dalam keadaan seperti itu, mungkin perilaku-perilaku di atas bisa dianggap wajar. Karena seluruh potensi tubuh sedang menuju satu titik: tujuan atau target. Satu titik tadi memaksa seluruh komponen tubuh untuk tidak memperhatikan yang lain. Kecuali, menjaga kecepatan. Pandangan mata selalu ke depan, pikiran tertuju pada gas dan rem, dan beberapa jari siaga di tombol klakson.
Masih juga dalam kesimpulan wajar jika banyak korban berjatuhan. Mulai dari penyeberang jalan yang tertabrak, kambing yang tewas di tempat, dan kucing yang hancur tergilas. Sekali lagi wajar dan wajar, karena pandangan terpusat pada tujuan atau target.
Ketidakpedulian makin sempurna ketika sejumlah angan merayap memenuhi pikiran. Kalau sudah sampai, saya bisa istirahat panjang. Kalau target terpenuhi, saya akan dikenal sebagai orang yang berprestasi. Dan seterusnya, dan seterusnya. Angan-angan terus bergumul menenggelamkan kesadaran.
Sebenarnya, kesadaran ingin mengajak si empunya menikmati seribu satu kepedulian. Kepedulian tentang pepohonan jalan yang berteriak kurang air. Kepedulian soal nafas sebagian burung yang terbang dengan nafas tersengal. Dan kepedulian dengan deru mesin kendaraan yang tidak lagi normal.
Kalau saja kesadaran tidak tertimbun angan-angan. Kalau saja fokus tidak saja berpusat pada target. Kalau saja kecepatan laju kendaraan bisa selaras dan seimbang. Ah, kepedulian akan terasa begitu indah.

Posted on 06.55 by Unknown

No comments



DI sebuah kebun binatang, seekor burung nuri menjadi pusat perhatian rekan-rekannya. Mulai dari kutilang, elang, gelatik, juga perkutut. Mereka begitu heran dengan perilaku nuri yang agak lain. Entah kenapa, nuri tiba-tiba kehilangan senyum. Padahal, tak ada burung yang lebih gampang senyum daripada nuri.

“Apa nuri sakit?” tanya kutilang suatu kali. Pertanyaan ini terlontar karena flu burung memang sedang marak. Siapa pun bisa kena. Apalagi burung itu sendiri. Dan, nuri cuma menggeleng ketika teman-temannya menanyakan itu. “Saya tidak sakit!” jawabnya singkat.

“Apa kamu dipisahkan dari pasanganmu?” tanya gelatik ikut prihatin. Kali ini, nuri juga cuma menggeleng. Itu pertanda kalau masalah bukan soal pasangan. Tapi, senyum nuri tak kunjung datang. Ia tetap saja dingin.

Bukan cuma rekan-rekan sesama burung yang merasa kehilangan. Seluruh isi kebun binatang pun tak lagi bisa menemukan senyum indah itu. Termasuk juga manusia yang datang berkunjung. Mereka cuma bisa menatap nuri sebagai burung pendiam. Tak ada celoteh. Tak ada canda. Apalagi senyum.

“Gerangan apa yang merenggut senyummu, nuri?” tanya kutilang akhirnya berterus terang. Nuri masih diam. Ia seperti tak bereaksi. Sesaat kemudian, ia pun membalikkan wajahnya ke arah rekan-rekannya. “Temanku,” ucapnya nyaris tak terdengar.

“Belakangan ini, aku memang berat untuk senyum. Senyumku terkubur oleh senyum para manusia,” tambah nuri lebih jelas. Tapi, jawaban itu justru membingungkan yang lain. “Maksudmu?” tanya rekan-rekan nuri bersamaan.

“Sejak Oktober bermula, aku perhatikan kalau manusia mana pun yang kujumpai selalu cemberut. Termasuk yang tiap hari mengurus kandangku. Aku berusaha menghibur dengan senyum, celoteh dan gurauan. Tapi, mereka semua diam. Cuma sorot mata mereka yang bicara. Dan itu soal kesedihan. Aku merasa kalau senyumku cuma sia-sia!” ungkap nuri yang kemudian diam seribu bahasa.

**
Ada satu hal yang mengandung seribu satu makna sebagai cerminan hati yang begitu dalam. Dari situlah tampak sinyal bahagia, puas, lepas. Dan di situ pula sebuah tanda soal lancartidaknya jalan hidup seseorang tertangkap. Itulah dia: senyum.

Namun, ketika potret hati sedang suram, senyum menjadi suatu yang mahal. Wajar jika senyum terukur sebagai sedekah.

Saat ini, ada banyak bibir yang mungkin sulit tersenyum. Ada banyak potret hati yang cenderung suram, bahkan gelap. Bersedekahlah agar bibir-bibir itu mampu tersenyum. Bersedekahlah agar orang bisa bersedekah. Dan itu merupakan sedekah yang amat mahal. Terlebih jika si pembuat senyum sebenarnya juga sedang suram.

Saatnya, membuat saudara kita bisa tersenyum. Walau sebenarnya, kita sendiri sedang sulit untuk tersenyum. Saatnya, membuat nuri-nuri yang biasa tersenyum menjadi tetap tersenyum. [mnuh/islampos]

Posted on 06.53 by Unknown

No comments





“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mengumumkan: ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’,” (Surat Ibrahim ayat 7)

DAHULU ketika udara masih bebas kita hirup, masih terasa aroma khas udara segar itu, mungkin kebanyakan kita hanya menikmati tanpa berpikir bahwa udara segar itu adalah nikmat yang luar biasa.

Dahulu ketika udara masih begitu segar dihirup, kita seakan lupa bahwa kalau Allah menghendaki, udara itu dapat bertukar busuk, bau atau malah beracun bagi tubuh kita.

Dahulu ketika udara masih kita hirup tanpa perlu berpikir memakai pelindung apapun, tanpa perlu membeli dari tabung-tabung oksigen itu, kita seakan acuh saja, seakan itu sudah kewajiban Tuhan kepada hambaNya.

Padahal tidak ada kewajiban Tuhan terhadap makhlukNya.

Sungguh tidak ada maksud memberikan justifikasi warga Riau itu berdosa, tidak bersyukur dan segala macamnya. Sungguh tidak ada sama sekali.

Tulisan ini sebagai renungan bersama, betapa berharganya udara yang sering sekali kita sepelekan selama ini.

Asap yang kini mengepung hampir seluruh pemukiman warga telah memberikan kita kesadaran bahwa udara ini berharga.

Menurut data dari lembaga kesehatan yang dipublikasikan di media, udara di Riau sudah berbahaya untuk dihirup. Dan kandungan oksigen yang mampu diserap tubuh hanya sekitar 5 % saja.

Oleh karena itu, solusi yang diharapkan hanya satu, yaitu HUJAN.

Namun apa dikata ? Hujan pun tak kunjung datang membasahi bumi Lancang Kuning tersebut. Seolah langit enggan menuangkan rahmat di atas bumi yang telah kering dan panas.

Sempat saya membaca informasi yang baik untuk mengundang hujan secara ilmu pengetahuan, yaitu membantu kristalisasi butir hujan dengan menjemur air bercampur garam. Ini usaha yang baik sekali.

Oleh karena nya, saya pun ingin menyumbangkan apa yang menjadi kemampuan saya yaitu tulisan mengenai permohonan kita meminta hujan rahmat kepada Sang Maha Kuasa.

Istisqo adalah salah satunya, tetapi itu saya serahkan pembahasannya kepada para ulama dan umara di Riau untuk melaksanakannya.

Saya dengan rendah hati mengajak kita mencermati inti dari istisqo yang sesungguhnya.

Menurut para ulama, istisqo berarti permohonan diturunkannya hujan dengan shalat, khutbah, disertai pujian dan istigfar.

Bahkan mazhab Imam Hanafi berpendapat bahwa takbir shalatnya digantikan dengan istigfar. Kita tidak membahas khilafiyah nya disini, namun ambil poin nya, mengapa “istigfar” ?

Lalu menjelang pelaksanaan shalat istisqo para pemimpin menganjurkan warga untuk memperbanyak istigfar dan taubat. Memperbanyak amal kebaikan dan memenuhi hak-hak yang masih belum ditunaikan.

Dianjurkan pula masyarakat untuk berpuasa tiga hari secara berturut-turut. Lalu keluar dengan pakaian yang tidak bermegah-megah apalagi mewah.

Mengapa dianjurkan demikian adanya?

Karena menurut para ulama, kemaksiatan, dosa dan ketidaksyukuran kita bisa jadi sebab ditundanya rahmat yang begitu banyak dari langit. Dan istisqo adalah bentuk penyesalan terhadap kesalahan dan dosa sosial kita.

Tidak perlu saling menuduh apalagi menyalahkan, mari kita berkaca sendiri, dosa apa yang masih konsisten kita lakukan?

Bagi para pemimpin, amanah apa yang masih dikhianati?
Bagi para ulama, syubhat apa yang masih dinikmati?
Bagi para pedagang, kecurangan apa yang masih dilakukan?
Bagi para ayah, kesucian pernikahan dan keluarga yang mana yang masih diabaikan?
Bagi para istri, ketidaktaatan mana yang masih menyakiti hati suami?
Bagi anak-anak, kedurhakaan mana yang belum kalian mohonkan kemaafannya?
Bagi orang-orang beriman, kesyirikan mana yang masih bertahta disamping Allah?
Bagi orang-orang islam, rukun Islam yang mana yang masih istiqomah ditinggalkan?

Mari kembalikan fitrah kita sebagai hambaNya.

Mari jadikan bencana ini jalan untuk semakin dekat kepadaNya.

Semoga setelah kita menyadari bahwa bisa jadi ini adalah karena dosa kita lalu kita bertaubat kepadaNya, hujan penuh rahmat pun turun membasahi lalu menyapu asap yang telah banyak mengganggu kehidupan kita semua. Allahumma Aamiin….

Posted on 06.44 by Unknown

No comments





SAUDARAKU,

Beraktivitas dari bangun pagi hingga tidur kembali dengan sehat itu adalah anugrah dari-Nya, selama itu berlangsung kita melakukannya dengan waktu. Waktu adalah perjalanan kita, sepanjang jalan ini dalam hidup ini haruslah kita menggunakan waktu itu dengan sebaik mungkin. Bila tidak dialah orang yang merugi.

Waktu adalah salah satu nikmat tertinggi yang diberikan Allah kepada Manusia. Sudah sepatutnya manusia memanfaatkannya dengan seefektif dan seefisien mungkin untuk menjalankan tugasnya sebagai makhluk Allah di bumi ini. Karena pentingnya waktu ini bagi umat manusia, maka Allah swt telah bersumpah pada permulaan berbagai surat dalam al-quran yang turun di mekkah dengan berbagai macam bagian dari waktu.

Misalnya bersumpah demi waktu malam, demi waktu siang, demi waktu fajar, demi waktu dhuha, dan demi masa. Semisal dalam surat Al-Lail ayat 1-2, Allah berfirman:

”Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila terang benderang.”

Saudaraku,

Hidup di dunia ini hanyalah sementara, berbagai mahluk hidup di muka bumi ini menjalankan kewajibannya, termasuk manusia yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya.

Dalam Al-Quranul Karim Surat Al-Ashr (103): 1-3, Allah berfirman yang artinya sebagai berikut.

1. Demi masa.

2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,

3. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

Saudaraku,

Ayat di atas menjelaskan bahwa manusia memang benar-benar berada dalam kerugian apabila tidak memanfaatkan waktu yang telah diberikan oleh Allah secara optimal untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan baik. Hanya individu-individu yang beriman dan kemudian mengamalkannyalah yang tidak termasuk orang yang merugi, serta mereka bermanfaat bagi orang banyak dengan melakukan aktivitas dakwah dalam banyak tingkatan.

Setiap muslim yang memahami ayat di atas, tentu saja berupaya secara optimal mengamalkannya. Dalam kondisi kekinian dimana banyak sekali ragam aktivitas yang harus ditunaikan, ditambah pula berbagai kendala dan tantangan yang harus dihadapi.

Saudaraku,

Dalam ajaran Islam, ciri-ciri seorang muslim yang ideal adalah pribadi yang menghargai waktu. Seorang Muslim memiliki kewajiban untuk mengelola waktunya dengan baik. Ajaran Islam menganggap pemahaman terhadap hakikat menghargai waktu sebagai salah satu indikasi keimanan dan bukti ketaqwaan, sebagaimana tersirat dalam surah Al-Furqan ayat 62 yang berbunyi: \”Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.\”

Seorang muslim haruslah pandai untuk mengatur segala aktivitasnya agar dapat mengerjakan amal shalih setiap saat, baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal, dirinya menginginkan sebagai ahli ibadah, dengan aktivitas qiyamullail, shaum sunnah, bertaqarrub illallah, dan menuntut ilmu-ilmu syar’i.

Dalam hubungannya secara horizontal, ia menginginkan bermuamalah dengan masyarakat, mencari maisyah bagi keluarganya, menunaikan tugas dakwah di lingkungan masyarakat, maupun di tempat-tempat lainnya. Dalam sejarah Rasulullah saw. dan orang-orang Muslim generasi pertama, terungkap bahwa mereka sangat memperhatikan waktu, sehingga mereka mampu menghasilkan sejumlah ilmu yang bermanfaat dan sebuah peradaban yang mengakar kokoh dengan panji yang menjulang tinggi.

Saudaraku,

Jika kita sadar bahwa pentingya manajemen waktu, maka tentu kita akan berbuat untuk dunia ini seolah-olah akan hidup abadi, dan berbuat untuk akhirat seolah-olah akan mati esok hari. [aldi/islampos/gamais itb]

Posted on 06.41 by Unknown

No comments





SAUDARAKU,

Seorang ibu tentu berkata, hargai istrimu sebagaimana engkau menghargai ibumu, sebab istrimu juga seorang ibu dari anak-anakmu.

Ibu berkata, jika marah boleh tidak memberi uang, boleh tidak berbicara dengan istrimu, tapi jangan bertengkar dengannya (membentaknya, memukulnya)

Saudaraku,

Seorang ibu tentu berkata, jantung rumah adalah seorang istri. Jika hati istrimu tidak bahagia, maka seisi rumah akan tampak seperti neraka (tidak ada canda tawa, manja, perhatian). Maka sayangi istrimu agar dia bahagia dan engkau akan merasa seperti di surga.

Ibu berkata, besar atau kecil gajimu, seorang istri tetap ingin diperhatikan. Dgn begitu maka istrimu akan selalu menyambutmu pulang dengan kasih sayang.

Ibu berkata, 2 orang yang tinggal 1 atap (menikah) tidak perlu gengsi, bertingkah, siapa menang siapa kalah. Karena keduanya bukan untuk bertanding melainkan teman hidup selamanya.

Saudaraku,

Seorang ibu tentu berkata, di luar banyak wanita idaman melebihi istrimu. Namun mereka mencintaimu atas dasar apa yang kamu punya sekarang, bukan apa adanya dirimu. Saat kamu menemukan masa sulit, maka wanita tersebut akan meninggalkanmu dan punya pria idaman lain dibelakangmu.

Ibu berkata, banyak istri yang baik. Tapi di luar sana banyak pria yang ingin mempunyai istri yang baik dan mereka tidak mendapatkannya. Mereka akan menawarkan perlindungan terhadap istrimu. Maka jangan biarkan istrimu meninggalkan rumah karena kesedihan, Sebab ia akan sulit sekali untuk kembali… [Sumber: Panenan Hati/ridwan ridb]

Posted on 06.35 by Unknown

No comments