SAUDARAKU,
Imam al Ghazaliy memperingatkan para pemimpin secara spesifik bahwa
pada hati manusia (dan pemimpin juga adalah manusia) terdapat ma’rifah
dan ‘itiqad yang merupakan pokok keimanan, dan bersamaan pula pada
anggota badan manusia dalam ketaatan dan keadilan yang disebut dengan
cabang dari keimanan. Yang dimaksud dengan perbuatan tersebut adalah
menjauhi keharaman dan menunaikan kewajiban baik berkaitan dengan
kewajiban antara manusia dan Allah swt serta kewajiban sesama manusia.
Dalam pembahasan ini, al Ghazaliy memulainya dengan masalah keimanan
dan ketaatan. Hal ini merupakan suatu hal yang tidak asing dalam
pembahasan para ulama dalam bebeberapa kitabnya. Ini adalah bukti yang
nyata bahwa dalam segala perkara, termasuk di dalamnya adalah kekuasaan
dan kepemimpinan tidaklah terlepas dari worldview Islam sebagai
aturan hidup. Filosofi seorang muslim dalam membangun keimanan dan
ketaatan menjadi suatu keharusan dalam setiap pembahasan agar seorang
muslim tahu siapa sebenarnya dia.
Saudaraku,
Kemudian setelah membahas keimanan dan ketaatan, Al-Ghazali baru
memberikan 10 nasihat lebih spesifik kepada para pemimpin. Kesepuluh
nasihat itu didasari oleh berbagai dalil al quran dan al hadits, juga
atsar para shahabat.
Saudaraku,
Pertama, pemimpin harus mengetahui kedudukan dan pentingnya
kekuasaan. Sesungguhnya kekuasaan adalah sebagian nikmat dari Allah.
Siapa saja yang menjalankan kekuasaan dengan benar, ia akan memperoleh
kebahagiaan yang tidak ada bandingannya. Siapa yang lalai dan tidak
menegakkan kekuasaan dengan benar, ia akan mendapat siksa karena kufur
kepada Allah. ”Keadilan pemimpin satu hari lebih dicintai Allah daripada
beribadah tujuh puluh tahun,” sabda Rasulullah.
Kedua, senantiasa merindukan petuah ulama dan gemar mendengarkan
nasihat mereka. Hati-hati dengan ulama yang menyukai dunia. Mereka akan
memperdayaimu, mencari kerelaanmu untuk mendapatkan apa-apa yang ada di tanganmu berupa hal-hal yang buruk dan haram agar mereka
mendapatkan sesuatu dengan mereka dan tipu daya. Orang yang berilmu
adalah orang yang tidak menginginkan hartamu, dan orang yang senantiasa
memberimu wejangan serta petuah.
Ketiga, janganlah merasa puas dengan keadaanmu yang tidak pernah
melakukan kezaliman. Lebih dari itu, didiklah pembantu, sahabat, pegawai
dan para wakilmu. Janganlah engkau tinggal diam melihat kezaliman
mereka, karena sesungguhnya engkau akan ditanya tentang perbuatan zalim
mereka sebagaimana akan ditanya tentang perbuatan zalimmu.
Saudaraku,
Umar bin Kaththab menulis surat kepada bawahannya, yaitu Abu Musa
al-Asy’ary: ”Sesungguhnya wakil yang paling berbahagia adalah wakil yang
rakyatnya merasa bahagia Sesungguhnya wakil yang paling celaka adalah
wakil yang rakyatnya dalam keadaan paling sengsara. Oleh karena itu,
mudahkanlah karena sesungguhnya bawahanmu akan mengikuti perilakumu.
Perumpamaanmu adalah seperti binatang melihat rumput hijau, kemudian
memakannya dalam jumlah banyak hingga gemuk. Ternyata kegemukannya
membawa kemalangan karena hal itu membuat dia disembelih dan dimakan
manusia.”
Keempat, kebanyakan wakil memiliki sifat sombong. Salah satu bentuk
kesombongannya adalah bila marah, ia akan menjatuhkan hukuman. Kemarahan
adalah perkara yang membinasakan akal, musuh dan penyakit akal.
Kemarahan merupakan Seperempat Kebinasaan. Jika amarah mendominasimu,
maka engkau harus ondong kepada sifat pemaaf dan kembali kepada sifat
mulia. Jika hal itu menjadi kebiasaanmu, maka engkau sudah meneladani
para nabi dan para aulia. Jika engkau menjadikan kemarahan sebagai
kebiasaan, maka engkau serupa dengan binatang buas.
Dari Abu Darda’ ra berkata: ”Ya Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu
amalan yang akan memasukkan aku ke dalam surga. Rasullah bersabda:
”Jangan marah, kamu akan masuk surga.”
Kelima, sesungguhnya pada setiap kejadian yang menimpa dirimu, engkau
mesti membayangkan bahwa engkau adalah salah seorang rakyat, sementara
selain dirimu adalah pemimpin. Dengan itu, apa yang tidak engkau ridha
bagi dirimu sendiri, tidak pula akan diridhai oleh salah seorang Muslim.
Jika engkau meridhai mereka dalam apa yang tidak engkau ridhai untuk
dirimu sendiri, berarti engkau mengkhianati dan menipu bawahanmu.
”Siapa yang ingin selamat dari panas api neraka dan masuk surga, ia
mesti –ketika datang kepadanya kematian– menemukan kesaksian dengan
lisannya. Setiap yang dia tidak ridhai bagi dirinya sendiri, maka tidak
seorangpun dari kaum Muslim meridhainya.”
Keenam, Janganlah engkau memandang rendah orang-orang yang memiliki
kebutuhan yang menunggu di depan pintumu. Hati-hatilah terhadap mereka.
Manakala salah seorang Muslim memiliki kebutuhan terhadapmu, janganlah
engkau malah tidak memperdulikan mereka karena sibuk dengan
ibadah-ibadah sunnah. Sebab,memenuhi berbagai kebutuhan kaum Muslim
adalah lebih utama daripada menunaikan ibadah-ibadah sunnah.
Saudaraku,
Suatu hari, Umar bin Abdul Aziz memenuhi berbagai kebutuhan
rakyatnya. Ia kemudian duduk menyandar karena kelelahan Setelah itu ia
masuk ke rumahnya untuk beristirahat menghilangkan kepenatan.
Anaknya kemudian berkata kepadanya: “Apa yang telah membuat ayah
merasa aman sementara kematian bisa saja datang saat ini, sedangkan pada
saat yang sama di depan pintu ayah ada orang membutuhkan yang sedang
menunggu sementara Ayah malah mengabaikan haknya?”. Umar bin Abdul Aziz
berkata: “Engkau benar!” Maka, saat itu juga Umar bangkit dan pergi ke
majelisnya.
Ketujuh, janganlah engkau membiasakan dirimu sibuk mengurusi berbagai
keinginan seperti ingin pakaian kebesaran atau memakan makanan yang
lezat. Akan tetapi, hendaklah engkau bersikap qana’ah (keseimbangan
dalam harta, tidak boros dan tidak kikir) terhadap seluruh perkara.
Sebab, tidak akan ada keadilan tanpa sifat qana’ah.
Umar bin Kaththab bertanya kepada seorang shalih: “Apakah engkau
melihat sesuatu pada diriku yang engkau benci?”. Orang itu berkata: “Aku
mendengar bahwa engkau pernah meletakkan roti di atas meja makanmu, dan
engkau punya dua baju, satu dipakai untuk malam hari dan satu lagi
untuk siang hari. Apakah selain itu ada sesuatu?” Umar menjawab:
“Tidak.” Orang itu berkata: “Demi Allah, kedua perkara ini tidak akan
selamanya.”
Saudaraku,
Kedelapan, sesungguhnya engkau, jika memang mampu melakukan setiap
urusan dengan penuh kasih sayang dan kelemah lembutan, maka janganlah
melakukan dengan kekerasan dan sikap kasar.
Ahli surga ada tiga: Pertama, orang yang mempunyai kekuasaan hukum
yang adil dan bersodaqoh kepada kaum fakir, selalu taat kepada Allah.
Kedua,
seorang yang hatinya lemah lembut dan penuh kasih sayang terhadap
sanak saudara. Ketiga, orang sholeh yang menahan dirinya dari hal-hal
yang haram, mempunyai keluarga, tapi cintanya terhadap keluarga tidak
mendorong untuk berbuat yang haram.
Kesembilan, hendaklah engkau berupaya dengan sungguh-sungguh untuk
meraih keridhaan rakyatmu melalui cara-cara yang sesuai dengan syariah.
“Sebaik-baik umatku adalah orang-orang yang mencintai kalian, dan kalian
mencintai mereka. Dan seburuk-buruk umatku adalah orang-orang melaknat
kalian, dan kalian melaknat mereka,” sabda Rasulullah.
Saudaraku,
Kesepuluh, janganlah engkau mencari keridhaan seorang manusia melalui
cara-cara yang bertentangan dengan syariah. Siapa saja yang marah
karena adanya pelanggaran syariah, maka marahnya tidak membawa bahaya.
Mu’awiyah menulis surat kepada Aisyah ra agar memberikan nasihat dengan
nasihat yang singkat. Maka,Aisyah menulisnya: “Aku mendengar Rasulullah
bersabda: Siapa saja yang mencari keridhaan Allah walaupun manusia marah
kepadanya, maka Allah akan ridha kepadanya, demikian pula manusia akan
ridha kepadanya. Siapa saja mencari keridhaan manusia dengan cara
dimurkai Allah, maka Allah akan murka kepadanya, demikian pula seluruh
makhluk akan marah kepadanya.” [Al tibr Al masbuk fi al Nashihah al
Muluk/Mutiara dalam Nasihat-nasihat untuk Para Penguasa-Imam al-Ghazaly]